Sabtu, 02 Juli 2011

Kemiskinan Iman dan Taqwa Sumber Malapetaka

Oleh : DEDI SUHERMAN
Guru SDN 1 Jati Kec. Batujajar Kab. Bandung Barat

Kita sebagai bangsa Indonesia patut bersyukur kepada Allah swt, karena secara kuantitas penduduk Indonesia mengaku beriman (mukmin) dan memeluk agama Islam (muslim).Disamping itu syukur kita panjatkan kepada Allah karena Negara kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa lengkapnya baik di darat, di laut, di perut bumi bahkan di angkasa raya.  Bila betul mayoritas bangsa Indonesia beriman dan keimanannya membuahkan ketakwaan niscaya kebahagiaan yang dicita-citakan dan kesejahteraan yang diimpikan akan menjadi kenyataan. Hal ini dijanjikan dengan pasti oleh Allah dalam Q.S. Al A’raaf : 96 “ Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri mereka beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
            Berdasarkan ayat di atas ternyata keimanan dan ketakwaan adalah pintu pembuka keberkahan untuk memperoleh kesejahteraan di dunia. Berkah artinya bertambah kebaikan dan tetapnya kebaikan itu. Sebaliknya apabila keimanan seseorang hanya sekedar pengakuan formalitas lisan tidak diaplikasikan dalam moralitas perbuatan, maka keimanannya palsu dan hampa dampaknya bukan bertambah kebaikan tapi justru berkurangnya kebaikan serta mengundang bencana dan malapetaka.
            Keimanan yang hanya diucapkan dengan lisan tidak nampak dalam perbuatan, dalam artikel ini penulis memberi istilah kemiskinan iman. Sebagaimana diketahui bahwa iman yang sempurna adalah keimanan yang diucapkan dengan lisan, diyakini sepenuh hati dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Mengaku beriman kepada Allah kosekuensinya siap patuh dan taat terhadap segala ketentuan (syari’at) yang ditetapkan oleh Allah swt.
            Orang yang  mengaku beriman dengan lisan tanpa dibuktikan dalam perbuatan, bagaikan orang yang mengaku mempunyai gabah tapi tidak berisi padi/beras atau ibarat mengaku mempunyai uang tetapi palsu. Orang yang mengaku memiliki gabah puluhan ton tapi ternyata gabahnya hampa tidak berisi, maka pengakuannya tidak berharga bahkan akan menimbulkan bahaya. Begitu pula orang yang mengaku mempunyai uang milyaran rupiah tetapi ketika dibuktikan ternyata uangnya palsu. Bentuk pisik uangnya mirip dengan yang asli, tetapi bila diteliti, dilihat, diraba dan diterawang dengan cermat ternyata tidak sesuai dengan uang asli. Orang tersebut dijamin menderita, terpaksa harus mendekam dipenjara.
            Mengapa bangsa Indonesia sampai saat ini mayoritas belum mencicipi kesejahteraan ekonomi, kemiskinan masih mewarnai kehidupan, kesengsaraan dan penderitaan masih dialami oleh sebagian masyarakat ? Padahal Negara kita mempunyai kekayaan alam yang super lengkap dan maha kaya. Sungguh ironis bila kesuburan alam tidak mewujudkan kemakmuran rakyat. Bangsa kita bagaikan tikus mati di lumbung padi.
            Mengapa semua ini terjadi ? Jawaban yang pasti adalah firman Allah yang penulis kemukakan di atas. Karena keimanan dan ketakwaan mayoritas umat Islam Indonesia hanya formalitas pengakuan lisan saja, tidak nyata dalam perilaku kehidupan sehari-hari, maka siksaan Allah berupa berbagai bencana dan musibah terus melanda. Bahkan ayat tersebut di atas dikuatkan pula oleh firman Allah dalam Q.S. An Nahl : 112
“Dan Allah telah memberi perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rizkinya (kekayaan alam) nya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya kufur (mengingkari) nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan mereka.”
            Berdasarkan ayat di atas meyakinkan kepada kita bahwa walaupun mayoritas bangsa Indonesia mengaku beriman kepada Allah, tetapi mereka banyak yang mengingkari berbagai nikmat pemberian Allah maka konskuensinya kemiskinan dan ketakutan selalu meliputi dan menghantui kehidupan.
            Banyak kriteria, ciri-ciri dan sifat-sifat orang beriman dan bertaqwa dikemukakan dalam Al Qur’an tetapi tidak tampak nyata dalam perilaku orang yang mengaku beriman. Salah satu ciri orang bertaqwa diungkapkan dalam Q.S Ali ‘Imraan :133-134 “Bersegerahlah kamu sekalian kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya ketika dalam keadaan lapang maupun diwaktu sempit (rizki)…….
            Sifat orang yang beriman dan bertaqwa antara lain suka memberi. Dia senantiasa menyisihkan sebagian tenaga, pikiran dan harta kekayaannya untuk kepentingan orang lain dan kemaslahatan umum, digunakan untuk menegakan kebenaran dan menumpas kebatilan. Baik ketika sedang kaya maupun ketika serba kekurangan.
            Di Indonesia orang yang memiliki sifat di atas tergolong makhluk langka bahkan mungkin dikatakan aneh. Sebab jangankan orang miskin yang serba kekurangan mau menyisihkan hartanya untuk kepentingan orang lain, orang-orang yang kaya bergelimangan harta yang melimpah ruahpun banyak yang tak kuat mengeluarkan zakat, infak dan sodaqah.
            Bahkan kenyataannya orang yang telah tergolong kayapun tetap serakah merampas harta hak orang miskin. Bukankah koruptor banyak berkeliaran di setiap kantor ? Bukankah tindak korupsi selalu terjadi disetiap instansi ? Bukankah pembabatan hutan secara liar (illegal logging) sulit dihentikan? Bukankah eksploitasi barang tambang dan mineral secara besar-besaran terus dilakukan? Siapakah pelaku semua itu? Para pelakunya bukan masyarakat biasa yang serba kekurangan, bukan orang miskin yang mencari sesuap nasi. Tetapi, korupsi terjadi di setiap instansi pelakunya para pejabat birokrasi yang bergaji tinggi, koruptor di setiap kantor pelakunya orang yang besar honor. Begitu juga pembabat hutan besar-besaran bukan masyarakat yang kelaparan, tapi para konglomerat yang memiliki uang berlipat-lipat, para cukong yang memiliki uang berkantong-kantong. Galian liar yang memporakporandakan ekosistem alam, merusak lingkungan, pelakunya bukan orang sembarangan, tetapi para juragan yang berkelebihan uang.
            Mengapa semua itu mereka lakukan? Jawaban yang pasti karena mereka miskin iman, tuna ketaqwaan. Masih dapat ditolelir dan dianggap wajar bila orang miskin berani mencuri, orang melarat berbuat jahat. Tapi sungguh kurang ajar bila para pejabat tega berbuat jahat, para politisi yang berdasi suka mencuri, para konglomerat merampas hak orang melarat. Bukankah berbagai subsidi yang diperuntukan bagi orang miskin banyak dikebiri dan dicuri oleh oknum pejabat berdasi. Bukankah pelaku penyelundupan minyak tanah bersubsidi, pupuk bersubsidi ternyata para pengusaha kaya? Mereka melakukan semua itu karena miskin iman walaupun mereka kaya harta, mereka tetap serakah walaupun harta melimpah. Orang kaya harta tetapi miskin iman, mereka bukan suka memberi tapi justru senang mencuri, mereka bukan senang menyumbang tapi justru suka bertindak curang.
Dalam artikel ringkas ini penulis tidak dapat menguraikan panjang lebar  tentang ciri-ciri orang yang miskin iman dan hampa takwa. Namun penulis mengajak kepada para pembaca, marilah kita instrosfeksi diri, muhasabah tingkah. Apakah akidah kita sudah istiqomah ? Apakah tingkah kita sudah sesuai dengan syari’ah ? Apakah taqwa kita sudah nyata ? Jawabannya hanya diri masing-masing yang tahu. Namun bila dilperhatikan secara umum, mesti kita akui secara jujur bahwa mayoritas orang yang mengaku beriman belum memiliki iman yang sempurna dan istiqomah, orang yang bertaqwa masih termasuk manusia langka.
Orang yang taat kepada syari’at masih belum banyak terlihat. Orang yang suka beramal sholeh masih termasuk manusia aneh. Orang yang mengikuti perilaku Nabi masih sulit dicari, kalaupun ada ternyata banyak yang mencaci maki. Orang yang konsekuen dan konsisten menegakkan syari’at Islam secara kaffah (utuh dan menyeluruh) kadang-kadang dicurigai, dianggap fundamentalis, bahkan dituduh teroris.
Sungguh ironis. Negara yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi alergi terhadap syari’at Islam. Wajar kalau fihak yang menolak syari’at Islam adalah penduduk yang beragama lain (non muslim). Tapi sungguh sangat mengherankan ternyata fihak-fihak yang menentang tegaknya syari’at Islam justru umat Islam sendiri baik secara individu maupun secara lembaga atau institusi. Tidak sedikit fihak-fihak yang fobbi bila syari’at Islam diterapkan dalam segala asfek kehidupan, baik dibidang ibadah ritual, dibidang ibadah social, ekonomi, politik dan ketatanegaraan. Mereka lebih percaya terhadap aturan hukum buatan THOGHUT daripada meyakini kebenaran hukum  ALLAH.
Penyebab utama miskinnya keimanan dan ketakwaan dikalangan umat Islam, karena Negara kita menganut faham sekuler, memisahkan syari’at agama dalam kehidupan bernegara. Agama dianggap hanya urusan pribadi, Negara tidak boleh ikut campur dalam mengatur agama. Syari’at Islam hanya dibatasi dalam masalah ibadah ritual, sedangkan dalam masalah politik ketatanegaraan, hukum positif (pidana) syariat Islam haram diterapkan. Hukum qishosh (hukum mati) bagi pembunuh, hukum hudud (potong tangan) bagi pencuri, hukum rajam (cambuk) bagi pezina dianggap hukum jahiliyah alias hukum primitif. Padahal hukum-hukum  tersebut tertera jelas dalam Al Qur’an yang dijamin benar 100 % karena merupakan firman Allah Yang Maha Adil.
Dampak negatif tidak diterapkannya syariat Islam dalam hukum pidana, kita dapat merasakan sendiri. Kasus pembunuhan hampir setiap hari terjadi, tindakan mencuri dan korupsi semakin menjadi, aktifitas prostitusi seolah-olah jadi tradisi.
            Bila kondisi seperti ini terus terjadi, tidak ada usaha untuk memperbaiki. Jangan harap kemakmuran bersama jadi kenyataan,     kesejahteraan umum dapat dirasakan. Justru sebaliknya, bila aqidah masih goyah, akan selalu dilanda musibah, bila syari’at tidak memasyarakat maka  akan selalu mengundang laknat, bila takwa hanya dalam kata tidak terbukti dalam realita, maka bencana akan selalu melanda. Tidak percaya ? Mari kita rasakan bersama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar