Rabu, 01 Juni 2011

GURU PROFESIONAL YANG PATUT DIGUGU DAN DITIRU



Oleh : Dedi Suherman
Guru SDN 1 Jati Kec. Batujajar Kab. Bandung Barat

            Guru adalah salah satu sebutan yang paling populer dari profesi pendidik disamping sebutan lainnya seperti : dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator dan lain-lain.
            Sebutan guru lebih populer dibanding dengan sebutan lainnya mungkin karena guru adalah sebutan pendidik yang melaksanakan tugas mendidik di jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang merupakan jenjang pendidikan yang paling banyak dan tersebar di seluruh wilayah/daerah di Indonesia.
            Kata “guru” entah berasal dari bahasa apa? Penulis belum sempat mencari asal-usulnya. Tapi dalam tulisan ini penulis mencoba menerjemahkan kata “guru” adalah figur yang patut ditiru. Atau menurut kirata Sunda (dikira-kira tapi nyata) guru adalah jalma anu kudu digugu tur ditiru. Kirata tersebut menggambarkan bahwa sosok seorang guru adalah orang yang patut digugu (dituruti) tutur kata dan ucapannya karena dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, serta pantas ditiru perilakunya karena senantiasa sesuai dengan norma-norma agama, susila  dan peraturan perundang-undangan negara.
            Berdasarkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.
            Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam UU Guru dan Dosen pada Bab II Pasal 2 ayat (1) berfungsi meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan mutu pendidikan nasional berarti peningkatan kualitas peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab II Pasal 3 tujuan pendidikan nasional adalah : “ untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

            Hubungan antara tugas utama dan fungsi guru dengan tujuan pendidikan nasional adalah guru seyogyanya menjadi  fasilitator, mediator, motivator dan motor penggerak yang mengantarkan anak didik mencapai tujuan pendidikan melalui kegiatan belajar mengajar.
            Guru dalam melaksanakan tugas utamanya harus berusaha mengembangkan 4 potensi dasar yang dimiliki peserta didik yaitu potensi otak (akal), potensi hati (kalbu), potensi rasa dan potensi raga. Dengan kata lain guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam kegiatan belajar mengajar harus membimbing dan mengarahkan peserta didik melalui :
  1. olah otak (akal) dengan cara mengembangkan daya nalar peserta didik untuk mau dan mampu berpikir sehingga menjadi manusia pintar (berilmu), pengembangan ranah kognitif.
  2. olah hati (kalbu) dengan cara menanamkan sikap kepada peserta didik agar sering berdzikir (mengingat) keagungan Tuhan Yang Maha Esa sehingga menjadi manusia yang kuat iman dan taqwa (manusia benar) berakhlak mulia. Pengembangan ranah afektif.
  3. olah rasa dengan cara mendidik dan melatih untuk mengembangkan sifat dan bakat positif dalam dirinya, sehingga menjadi manusia yang cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab (sehat rohani/jiwa). Pengembangan ranah afektif dan psikomotor
  4. olah raga (gerak badan) melalui pemberian pengetahuan tentang kesehatan badan dan lingkungan sehingga dapat membiasakan hidup sehat dan bersih, serta mengembangkan bakat olah raga sehingga mencapai prestasi ( kesehatan jasmani). Pengembangan ranah psikomotor.

Dalam falsafah universal budaya Sunda, pendidikan itu harus membimbing dan mengarahkan peserta didik agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang cageur (sehat jasmani), bageur (sehat rohani/ berakhlak mulia), pinter ( cerdas intelektualnya) bener ( benar dalam tutur kata dan perbuatan) wanter tur singer (berani tampil menegakkan kebenaran, terampil dan kreatif)
            Idealnya sifat dan karakteristik manusia yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional, terlebih dahulu harus tampak nyata  dalam realita pada sosok seorang guru, sebelum sifat dan karakter tersebut ditransfer kepada peserta didik melalui proses pendidikan. Guru yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan isi tujuan pendidikan nasional akan mampu menjadi masinis yang dapat mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional. Guru tersebut pantas untuk digugu dan ditiru dan layak diberi gelar guru jadi alias guru profesional.
            Sekarang bagaimana realitanya ? Apakah dewasa ini sudah banyak orang yang jadi guru menjelma sebagai guru jadi ? Kita dapat menyaksikan bahwa saat ini telah banyak yang diangkat jadi guru karena memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan latar belakang pendidikan yang relevan. Namun perlu kita akui dengan jujur masih jarang orang yang jadi guru tampil sebagai guru jadi ( guru profesional ). Untuk menjadi guru jadi (profesional) tidak cukup mengandalkan kualifikasi akademik, kompetensi dan latar belakang pendidikan yang sesuai secara formal, tetapi lebih dari itu secara moral guru jadi (profesional) harus memiliki sifat dan watak serta karakteristik yang tekandung dalam tujuan pendidikan nasional. Mana mungkin seorang guru mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional, sementara gurunya sendiri tidak mau dan tidak mampu mengaplikasikan tujuan pendidikan nasional pada dirinya. Lebih jelasnya karakteristik guru jadi yang patut digugu dan ditiru adalah sebagaimana tercantum dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 7 ayat (1) :
  1. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
  2. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia
  3. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan  yang sesuai dengan bidang tugasnya
  4. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya
  5. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
  6. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
  7. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat
  8. memiliki jaminan pelingdungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan dan,
  9. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Dari delapan poin prinsip profesionalitas guru sebagaimana tercantum di atas, poin (a) dan poin (b) relevan dengan tujuan pendidikan nasional dan merupakan poin yang pertama dan utama. Bila kedua poin tersebut tampak nyata dalam kepribadian seorang guru niscaya guru tersebut dapat mendorong kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Namun bila diperhatikan dengan seksama, mutu pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan karena tidak enak untuk didengar dan tidak sedap dipandang mata. Para peserta didik dari jenjang pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi, mayoritas belum mampu mencapai tujuan pendidikan nasional. Ditinjau dari asfek kognitif (penguasaan pengetahuan) mutu pendidikan Indonesia masih ada pada peringkat bawah dibandingkan dengan negara lain. Jangankan dibandingkan dengan negara maju, dengan negara Asean pun, posisi mutu pendidikan kita konon katanya hanya di atas Vietnam dan Kamboja jauh ketinggalan oleh Malaysia, Singapura dan Thailand. Begitu pula dilihat dari asfek afektif terutama nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan aklhalk mulia sungguh memprihatinkan. Kita dapat menyaksikan dengan kasat mata, para remaja dan pemuda yang notabene peserta didik dijenjang pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi, agak sulit menemukan sosok manusia yang mencerminkan sikap manusia beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Buktinya, jarang kita saksikan para remaja dan pemuda yang taat melaksanakan syari’at agama, sulit menemukan pemuda muslim yang rajin pergi ke masjid, taat beribadah. Bahkan yang sering kita saksikan adalah segerombolan remaja dan pemuda yang nongkrong dipinggir jalan, atau berkumpul di tempat-tempat hiburan baik yang tertutup maupun yang terbuka. Dalam pergaulan sehari-hari tutur kata yang keluar dari mulut mereka jarang mencerminkan sikap sopan santun dan tatakrama, bahkan yang sering kita dengar kata-kata kotor dan kasar betapa spontan meluncur dari mulut mereka. Begitu juga sikap dan perilaku yang menggambarkan kerendahan akhlak dan kebejatan moral telah mewarnai perilaku mereka. Kita sering menyaksikan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui tayangan TV, situs internet atau media cetak yang mempertontonkan dan menampilkan perilaku para remaja dan pemuda yang bertentangan dengan norma agama, susila dan peraturan negara. Sungguh menprihatikan bila perilaku sebagian besar para remaja dan pemuda yang berstatus peserta didik telah terjerumus ke dalam perbuatan asusila dan amoral. Misalnya, terjun ke dunia prostitusi, free sex, tindakan kriminal, kecanduan NARKOBA, perbuatan anarkhis, tawuran antar pelajar/mahasiswa. Itu semua menunjukkan kegagalan mencapai tujuan pendidikan.
Walau memang fenomena tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh lingkungan rumah tangga, lingkungan masyarakat dan ekses negatif dari globalisasi, namun perlu diakui dengan jujur bahwa dunia pendidikan dan lingkungan sekolah pun ikut pula mewarnainya. Proses kegiatan belajar mengajar di sekolah cenderung lebih mengutamakan asfek kognitif (pengetahuan) dan mengenyampingkan asfek afektif dan psikomotor. Peserta didik lebih dituntut untuk sekedar banyak tahu secara konseptual tetapi tidak dibiasakan untuk mau secara kontektual. Contoh sederhana, dalam menilai prestasi siswa umumnya guru lebih menitikberatkan pada pengetahuan peserta didik daripada mengutamakan penilaian sikap dan perilaku. Misalnya, ketika siswa mengikuti ujian atau tes, kadang-kadang  siswa yang menyontek dibiarkan tidak digubris. Bahkan pada saat Ujian Nasional kadang-kadang para siswa diberi kelonggaran untuk saling menyontek, bahkan pihak sekolah pun berani melakukan tindakan tidak terpuji dengan memberikan bocoran jawaban, agar siswa dapat lulus 100%. Hal ini dilakukan untuk menjaga prestise sekolah bukan untuk meningkatkan prestasi siswa. Sungguh ironis dan menyedihkan. Padahal tanpa disadari tindakan tersebut membentuk karakter siswa yang koruptif, dan menumbuhkembangkan prinsip Machiavelli yaitu menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan.
Dunia pendidikan tidak perlu memungkiri bahwa sampai saat ini masih banyak yang jadi guru tetapi belum tampil sebagai guru jadi (profesioanal). Masih banyak guru yang belum menyadari tugas dan fungsinya dan tidak tahu mau kemana perserta didik hendak menuju.
Walaupun sejak lahirnya UU GD, pemerintah cq Departemen Pendidikan telah melakukan upaya terobosan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Namun bila dicermati ternyata upaya tersebut lebih cenderung bersifat formalitas dan mengenyampingkan moralitas. Untuk meningkatkan kualifikasi akademik guru terutama guru SD dituntut untuk mencapai gelar sarjana S1, sehingga ditempuhlah jalan pintas, lahirlah sarjana karbitan, dapat lulus dalam waktu singkat sementara kualifikasi akademik dan profesionalitasnya tidak begitu nampak meningkat, tapi dampak yang jelas anak didik jadi terlantar karena banyak ditinggalkan guru mengikuti perkuliahan. Begitu pula proses sertifikasi lebih cenderung bersifat formalitas. Seorang guru yang ingin mengikuti sertifikasi berlomba mengumpulkan nilai melalui portofolio, maka diikutilah berbagai macam kegiatan seminar, work shop, aktif diorganisasi profesi dan kemasyarakatan, sehingga akhirnya menelantarkan siswa di dalam kelas. Ketika mengikuti seminarpun ternyata mayoritas motivasinya bukan untuk meningkatkan kompetensi diri, tapi hanya sekedar mengumpulkan sertifikat. Bahkan konon katanya tidak sedikit guru yang mengoleksi sertifikat aspal (asli tapi palsu) tujuannya tiada lain untuk segera lulus sertifikasi dan cepat mencicipi tujangan profesi 100 %. Bila keadaannya benar demikian sungguh memalukan dan memilukan .Profesionalisasi guru melalui sertifikasi hanya sekedar melahirkan guru jadi-jadian bukan mewujudkan guru jadi (profesional).
Guru jadi (profesional) tidak cukup mengandalkan kepintaran intelektual/ Intelegent Quotient (IQ) semata, tetapi lebih dari itu harus ditunjang oleh kecerdasan emosional / Emotional Quotient (EQ) dan kecerdasan spiritual/ Spiritual Quotient (SQ). Bila sebagian besar guru telah memiliki (IESQ) maka pencapaian tujuan pendidikan nasional yakin akan mudah diraih. Sebaliknya bila kebanyakan guru tidak memiliki (IESQ) tujuan pendidikan nasional hanya dalam angan-angan sulit untuk menjadi kenyataan, hanya sekedar cita-cita tidak akan nyata dalam realita.
“Lebih baik tidak jadi guru daripada jadi guru tidak baik”

Penyakit Guru Yang Membahayakan


  Oleh : Dedi Suherman
Guru SDN 1 Jati Kec. Batujajar Kab. Bandung Barat

Dari beberapa faktor penunjang keberhasilan pendidikan sehingga mampu melahirkan siswa yang berprestasi , faktor guru sangat dominan adanya. Peran guru sangat penting  terhadap baik buruknya mutu pendidikan. Ungkapan “guru kencing berdiri murid kencing berlari” rasanya masih belum usang. Bila sampai sangat ini mutu pendidikan di Indonesia dinilai oleh berbagai pihak masih relatif rendah, maka perlu diakui salah satu penyebab utamanya adalah kualitas kompetensi guru relatif rendah, di samping faktor-faktor lain yang menjadi penyebabnya. Misalnya, sarana prasarana pendidikan yang kurang refresentatif, manajemen pendidikan yang masih carut marut.
            Mengapa masih banyak guru yang belum profesional alias tidak berkualitas? Berdasarkan hasil riset dan survey berbagai pihak ditemukan beberapa penyakit yang bersarang pada diri guru sehingga guru tersebut tidak profesional dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Ada beberapa penyakit berbahaya yang melemahkan kualitas guru dalam melaksanakan tugas sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, diantaranya :
1.       ASMA (Asal masuk kelas). Ketika guru masuk ke kelas tanpa disertai persiapan dan perencanaan matang secara tertulis dan sistematis
2.       ASAM URAT (Asal Sampai Materi Urutan tidak Akurat). Cara menyajikan materi pelajaran masih konvensional, sering memakai metode CBSA (Cul Budak Sina Anteng), metode tugas mencatat paling sering dilakukan. Kadang-kadang batas materi pelajaran yang disampaikan gurupun tidak tahu.
3.       BATUK (Baca Ngantuk). Umumnya guru malas membaca, sekali-kali membaca kantuk datang menggoda akhirnya membaca tak tahan lama. Karena jarang membaca ilmunya tidak bertambah, wawasannya tidak luas. Materi pelajaran yang diberikan kepada siswa tidak mengikuti perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Jadilah guru yang jumud, kaku bahkan ortodok.
4.       DIABETES (Dihadapan Anak Bekerja Tidak Series)
5.       DIARE (Di kelas Anak diRemehkan). Potensi, bakat dan minat anak kurang diperhatikan, sehingga proses belajar mengajar monoton, tidak menumbuh kembangkan potensi anak didik tapi justru sering membunuh potensi, bakat dan minat anak didik.
6.       GATAL (Gaji Tambah Aktifitas Lesu). Gaji ingin terus bertambah, tapi melaksanakan tugas kewajiban tidak mau berubah. Mengikuti sertifikasi sangat ambisi padahal kurang memiliki kompetensi tujuan utamanya ingin berpenghasilan tinggi mendapat gaji tunjangan profesi.
7.       GINJAL (Gaji Nihil Jarang Aktif dan Lambat). Gaji minus tiap bulan karena habis oleh kredit bank akhirnya hilanglah gairah bekerja, pudar semangat mengajar.
8.       HIPERTENSI (Hilang Perhatian Terhadap Nasib Siswa). Prestasi siswa tidak diperhatikan, mau pintar atau bodoh masa bodo, tidak ada upaya pengayaan bagi siswa berprestasi dan tidak ada upaya perbaikan atau remedial kepada siswa yang masih kurang berprestasi.
9.       KANKER (Kantong Kering). Gaji satu bulan habis satu minggu, karena besar pasak daripada tiang, tinggi kemauan rendah kemampuan. Penghasilan tidak memenuhi kebutuhan, akibatnya hilanglah semangat melaksanakan tugas, malas masuk kelas, sering mangkir tidak hadir.
10.   KUDIS (Kurang Disiplin) melaksanakan tugas asal-asalan tidak tepat waktu, tidak akurat rencana dan program.
11.   KURAP (Kurang Rapih). Penampilan pisik (performan) acak-acakan, persiapan administrasi KBM asal-asalan.
12.   KUSTA (Kurang Strategi). Tampil mengajar dihadapan siswa hanya menggunakan metode ceramah sehingga membosankan, tidak menggunakan berbagai metoda mengajar sehingga tidak membangkitkan semangat belajar siswa.
13.   MUAL (Mutu Amat Lemah) masih banyak guru yang belum memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang ideal. Kurang menguasai materi pelajaran dan metoda pembelajaran.
14.   LESU (Lemah Sumber). Buku sumber pelajaran hanya mengandalkan buku paket, tidak memiliki buku referensi yang vareatif dan representatif sehingga wawasannya sempit
15.   LIPER (Lekas Ingin Pergi). Tidak betah berada di sekolah, tidak antusias masuk ke kelas bahkan sebaliknya ingin segera pulang untuk mencari penghasilan tambahan. Kadang-kadang usaha sampingan diutamakan tugas utama mengajar dilupakan.
16.   PROSTAT (Program dan Strategi tidak dicatat). Ketika KBM tidak disertai Silabus dan RPP, tanpa dilengkapi program dan strategi mengajar yang ditulis sistematis.
17.   REMATIK (Rendah Motivasi Anak Tidak Simpatik). Tidak semangat ketika mengajar dihadapan anak didik, performan tidak menarik  sehingga anak didik tidak simpatik bahkan sebaliknya antipati akhirnya melemahkan bahkan menghilangkan gairah belajar. Tampil mengajar tidak menyenangkan siswa.
18.   STRUK (Suka Terlambat Untuk masuk Kelas)
19.   T B C (Tidak Bisa Computer) alias gaptek (gagap teknologi), tidak ada usaha untuk meng-up grade kompetensi diri, sehingga penguasaan teknologi informasi dan komunikasi kalah oleh siswa.
20.   TIPUS (Tidak Punya Selera). Ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar dihadapan siswa tidak semangat, kurang gairah 
Waspadalah jenis-jenis penyakit di atas jangan sampai diderita oleh para guru. Apabila macam-macam jenis penyakit kronis tersebut di atas bersemayam dalam sikap mental dan psikologis guru sehingga mengalami komplikasi akut, maka sangat membahayakan terhadap kualitas pendidikan siswa. Jenis-jenis penyakit mental di atas termasuk penyakit menular yang dapat melumpuhkan bahkan membunuh potensi yang dimiliki siswa. Dampak negatifnya potensi yang dimiliki siswa bukan meningkat menjadi kompetensi tapi justru membuat siswa impotensi, kurang berprestasi.
Sebelum berbagai penyakit di atas semakin mewabah dan merambah pada jiwa setiap guru, maka perlu segera melakukan tindakan antisipatif dan preventif dengan meminum obat mujarab yaitu “IMTAK” dan “IPTEK” (meningkatkan kualitas keimanan dan merealisasikan ketakwaan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi).
Seberapapun besar dana yang disediakan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan bila tidak ditunjang oleh mutu pendidik karena sudah terjangkit penyakit, yakinlah prestasi siswa sulit bangkit.   
“ Be Good A Teacher or Never”
“ Lebih baik tidak jadi guru daripada jadi guru tidak baik”