Rabu, 03 Agustus 2011

Menggali Kembali Karakter Bangsa


Oleh : Dedi Suherman
Guru SDN 1 Jati Kec. Batujajar Kab. Bandung Barat

Karakter bangsa dewasa ini adalah kata yang selalu muncul dan seringkali menjadi penutup diskusi perihal penyebab keterpurukan Bangsa Indonesia di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa karakter bangsa kita, ekstrimnya, sedang berada di titik nadir. Saya sangat meyakini bahwa perbaikan karakter bangsa merupakan kunci utama agar bangsa yang besar jumlah penduduknya ini bisa ke luar dari berbagai krisis yang semakin membawa negeri ini ke jurang kehancuran untuk bangkit dan menyongsong nasibnya yang lebih baik. 
Cobalah datang berkunjung ke kantor-kantor yang berurusan dengan pelayanan publik, mall, pasar tradisional, hingga jalan raya, kemudian bandingkan dengan situasi dan kondisi tempat yang sama di negara maju! Anda akan bisa memaklumi puisi Taufik Ismail yang bertajuk Malu (Aku) Menjadi Bangsa Indonesia. Tak perlu gerah dan membuat puisi tandingan, gunakan cermin besar untuk melihat keseharian bangsa kita ( tentu saja turut menelanjangi diri sendiri).
Sudah Habis Teori di Gudang, demikian ungkapan Professor Mahfud MD (Ketua MK) menjawab pertanyaan mahasiswanya tentang teori apa lagi yang bisa digunakan untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis (Kompas, 11 Oktober 2005). Bangsa kita memang gudangnya teoritikus, yang nampak garang dan gagah manakala mendiskusikan dan merumuskan sebuah konsep, namun hampir menjadi nihil alias nol besar, bahkan kontradiksi/bertotak belakang dalam aplikasinya. Tidak sesuainya kata dan perbuatan alias munafik/hiprokrit, demikian ungkapan dai-dai kondang kita yang berusaha mencari solusi bagi bangsa.
Menjadi lebih menyedihkan lagi manakala kita melihat ke dalam dan menemui bahwa mayoritas komponen bangsa kita mengklaim dirinya sebagai bangsa yang religius. Banyak sudah orang mengatakan bahwa nilai-nilai religiusitas yang diyakini menjadi bagian integral Bangsa Indonesia justru diaplikasikan dalam keseharian oleh bangsa maju yang notabene sekuler. Bangsa kita gagal dalam melakukan internalisasi nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama berdasarkan wahyu Tuhan menjadi perilaku keseharian. Sedangkan bangsa lain harus memeras otak mereka dan menghasilkan prinsip hidup yang terealisir. Nilai-nilai luhur bangsa kita jelas lebih unggul, karena berasal dari wahyu Tuhan, namun perlu usaha keras dan luar biasa untuk melakukan internalisasinya. Tidak perlu malu untuk mengakui bahwa sebagian besar lembaga pendidikan kita, baik pendidikan formal ataupun non-formal, umum ataupun keagamaan, belum berhasil melakukan tugas utamanya: internalisasi nilai luhur, budi pekerti, akhlak mulia menjadi sikap, tindakan, perilaku sehari-hari. Nilai-nilai karakter bangsa baru disampaikan secara teori verbalistis, kurang disertai aplikasinya secara afektif dan psikomotorik.
Tidak perlu pesimis, belum terlambat dan Insya Allah tidak mustahil mengubah nasib Bangsa Indonesia. Namun jangan menunggu keajaiban datang dari langit. Jangan hanya mengandalkan do’a tanpa disertai usaha. Seluruh komponen bangsa: Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Militer, Penegak Hukum, Swasta, dan Masyarakat harus bertekad kuat memperbaiki karakter bangsa melalui peran masing-masing. Tidak perlu membuat TAP MPR atau UU Karakter Bangsa – pengalaman menunjukkan bahwa banyak peraturan di bumi pertiwi yang hanya berhenti di lembaran negara. Zero defect harus menjadi prinsip utama seluruh komponen bangsa; baik untuk urusan kecil, seperti membuang sampah, hingga pengamanan harta negara.
Implementasi zero defect memerlukan kepemimpinan yang bersih, kuat, tegas, dan berstamina tinggi. Zero defect tidak mustahil untuk dilaksanakan, karena ini masalah pembiasaan. Zero defect bukan berarti mengingkari kodrat manusia yang memang tidak pernah bisa mencapai kesempurnaan, namun hal tersebut menjadi the ultimate goal yang patut digantungkan di dinding kantor-kantor pemerintahan. Sedikit penyimpangan terhadap zero defect yang masih berada dalam toleransi yang terukur bisa ditolerir dengan catatan adanya tekad bulat untuk kembali menuju ke zero defect.
Karena ini masalah pembiasaan, maka kunci terpentingnya ada di bidang pendidikan. Wajah pendidikan kontemporer kita, sebagai sebuah sistem yang tak bisa lepas dari rembesan nilai-nilai setempat, masih terlihat belum cemerlang. Secara umum, pendidikan di Indonesia belum menghasilkan lulusan berkarakter kuat. Tentu saja, ada di sana-sini pelaku pendidikan, baik individu ataupun lembaga yang berkarakter. Hanya saja jumlahnya masih minoritas.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Rektor (Forek), dan berbagai pimpinan lembaga pendidikan formal dan non-formal perlu kembali mengingatkan kepada anggotanya tentang peran mulia dan strategis mereka dalam perubahan nasib bangsa. Tidak perlu menunggu implementasi UU Guru dan Dosen untuk memulai semua itu, karena entitas ini, Guru, Dosen, dan para pendidik pada umumnya, adalah para pahlawan bangsa. Sejarah kontemporer Indonesia akan mencatat dengan tinta emas peran para pendidik dalam keluarnya Indonesia dari krisis. Lingkaran setan yang membelit Bangsa Indonesia perlu segera diputus; dimulai dari para ksatria: Guru, Dosen, dan para pendidik.
Mari kita bulatkan tekad, satukan visi dan misi untuk memperbaiki kondisi negeri yang telah kehilangan jati diri, nilai-nilai karakter bangsa yang telah terkubur mari kita gali kembali, kemudian kita tanam dalam diri sendiri dan kita semaikan pada sikap dan tindakan anak didik kita. Akhlak mulia yang selama ini semakin menghilang, mari kita mulai tumbuhkembangkan dalam ucapan, tindakan dan perbuatan. Kita yakin bisa jika mau berusaha, kita yakin mapu jika kita semua mau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar